Pengepungan Konstantinopel (717–718)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pengepungan Kedua Konstantinopel oleh Arab pada tahun
717–
718 adalah upaya gabungan darat dan laut oleh
pasukan Arab dari
Kekhalifahan Umayyah terhadap ibu kota
Kekaisaran Bizantium,
Konstantinopel.
Upaya ini menandai puncak dari dua puluh tahun serangan, gangguan, dan
pendudukan Arab yang bertahap terhadap perbatasan Bizantium, sementara
kekuatan Bizantium sedang melemah akibat
kekacauan dalam negeri yang berkepanjangan. Pada tahun 716, setelah persiapan selama bertahun-tahun, pasukan Arab, dipimpin oleh
Maslamah bin Abdul Malik, menginvasi
Asia Kecil
milik Bizantium. Meskipun pada awalnya mereka ingin memanfaatkan perang
saudara Bizantium dan membuat kesepakatan dengan jenderal
Leo orang Isauria, yang bangkit menentang Kaisar
Theodosius III, akan tetapi Leo justru memperdayai pihak Arab dan merebut tahta Bizantium untuk dirinya sendiri.
Setelah melewati
musim dingin di pesisir barat
Asia Kecil, pasukan Arab menyeberang ke
Trakia pada awal musim panas
717 dan membangun
garis pengepungan untuk memblokade kota, yang dilindungi oleh
Tembok Theodosius yang besar. Armada
kapal
Arab, yang mengiringi pasukan darat dan dimasudkan untuk melengkapi
blokade kota lewat laut, dihalau beberapa saat setelah kedatangannya
oleh serangan
api Yunani dari
angkatan laut Bizantium,
sehingga memungkinkan Konstantinopel untuk memperoleh pasokan makanan
melalui laut, sementara pasukan Arab menderita wabah kepalaran dan
penyakit pada musim dingin berikutnya yang keras. Pada musim semi
718,
dua armada Arab yang dikirim sebagai bala bantuan dihancurkan oleh
Bizantium setelah ada kru Kristennya yang membelot, dan satu pasukan
tambahan yang dikirim lewat darat melalui Asia Kecil disergap dan
dikalahkan. Dengan tambahan serangan
pasukan Bulgar dari arah belakang, pasukan Arab akhirnya terpaksa menghentikan pengepungan pada
15 Agustus 718. Dalam perjalanan pulangnya, armada Arab nyaris diluluhlantakkan oleh bencana alam dan serangan Bizantium.
Kegagalan pengepungan ini mengakibatkan dampak yang luas.
Penyelamatan Konstantinopel menjamin kerberlangsungan Bizantium,
sementara pandangan strategi Kekhalifahan diubah: meskipun serangan
rutin terhadap wilayah Bizantium terus berlanjut, tujuan penaklukan
langsung mulai ditinggalkan. Para sejarawan menyebut pengepungan ini
sebagai peristiwa yang menghentikan gerak maju Islam ke
Eropa, dan menganggapnya sebagai salah satu
pertempuran paling menentukan dalam sejarah.
Latar belakang
Setelah
Pengepungan Pertama Konstantinopel oleh Arab (674–678), baik
Arab maupun
Bizantium melewati masa damai. Setelah tahun 680,
Kekhalifahan Umayyah mengalami
Perang Saudara Islam Kedua
disusul dengan kebangkitan Bizantium yang terjadi di Timur yang
memungkinkan Bizantium untuk menarik upeti berjumlah besar dari
pemerintah Umayyah di
Damaskus.
[3] Pada tahun 692, setelah Umayyah berhasil menghentikan Perang Saudara Muslim, Kaisar
Justinianus II
(berkuasa 685–695 dan 705–711) kembali memicu permusuhan dengan
Umayyah. Hasilnya adalah serangkaian kemenangan Arab yang berujung pada
lepasnya kendali Bizantium atas Armenia dan kepangeranan-kepangeranan
Kaukasus, serta gangguan bertahap terhadap wilayah Bizantium. Dari tahun
ke tahun, para jenderal Kekhalifahan, biasanya anggota keluarga
Umayyah, melancarkan serbuan ke wilayah Bizantium dan merebut benteng
dan kota.
[4][5][6]
Setelah 712, sistem pertahanan Bizantium mulai menampakkan tanda-tanda
keruntuhan: semakin lama, serbuan Arab menembus semakin dalam ke
Asia Kecil, benteng-benteng di perbatasan berulang kali diserang dan dijarah, dan reaksi Bizantium semakin lama semakin lemah.
[7][8] Dalam usaha ini, Arab dibantu oleh adanya
periode ketidastabilan dalam negeri yang berkepanjangan,
yang berlangsung menyusul penggulingan pertama Justinianus II pada 695.
Selama periode ini, tahta Biznatium tujuh kali berpindah tangan dalam
revolusi yang keras.
[9][10][11] Meskipun demikian, seperti disebutkan oleh ahli Bizantium
Warren Treadgold,
"Serangan Arab bagaimanapun juga semakin meningkat setelah berakhirnya
perang saudara ... Dengan tenaga manusia, lahan, dan kekayaan yang lebih
besar daripada Bizantium, Arab mulai memusatkan seluruh kekuatan mereka
untuk melawan Bizantium. Kini mereka berniat sepenuhnya meruntuhkan
kekaisaran itu dengan menaklukan ibu kotanya."
[12]
Sumber
Informasi yang tersedia mengenai pengepungan ini berasal dari
sumber-sumber yang ditulis pada masa-masa selanjutnya, yang seringkali
saling bertentangan. Sumber Bizantium utama adalah catatan yang panjang
dan rinci berupa
Kronik Theophanes Sang Pengaku (760–817) dan yang terpenting kedua adalah catatan yang lebih singkat dalam
Breviarium buatan
Patriark Nikephoros I dari Konstantinopel (meninggal 828), yang menampilkan perbedaan-perbedaan kecil, khususnya yang bersifat kronologis, dari versi Theophanes.
[13]
Untuk peristiwa-peristiwa dalam pengepungan, kedua penulis tampaknya
mengandalkan naskah primer yang ditulis pada masa pemerintahan
Leo III orang Isauria
(berkuasa 717–741) yang dengan demikian berisi penggambaran yang lebih
disukai pada catatan yang kedua, sedangkan Theophanes tampaknya
mengandalkan biografi tak diketahui mengenai Leo (diabaikan oleh
Nikephoros) untuk peristiwa-peristiwa pada tahun 716.
[14] Sumber-sumber Arab, terutama dari abad ke-11
Kitabul 'Uyun dan naratif yang lebih singkat dalam
Sejarah Para Nabi dan Raja oleh
at-Tabari
(838–923), didasarkan pada naskah-naskah primer oleh para penulis Arab
awal abad ke-9, namun lebih rancu dan berisi beberapa unsur legenda.
Naskah-naskah ber
bahasa Suryani didasarkan kepada
Agapius dari Hierapolis
(meninggal 942), yang sangat mungkin menulis berdasarkan sumber-sumber
primer yang sama seperti Theophanes, namun jauh lebih singkat.
[15][16]
Tahap awal kampanye
Solidus emas Anastasios II (b. 713–715), yang mempersiapkan Konstantinopel menjelang serangan Arab
Keberhasilan Arab membuka jalan untuk serangan kedua ke
Konstantinopel, suatu usaha yang sudah dimulai semenjak Khalifah
al-Walid I (b. 705–715). Setelah kematiannya, saudara dan penerusnya
Sulaiman
(b. 715–717) mengambil proyek tersebut dengan semangat yang meningkat,
diduga karena adanya sabda Nabi bahwa Khalifah yang memiliki nama
Nabi akan menaklukkan
Konstantinopel; Sulaiman adalah satu-satunya anggota Wangsa Umayyah yang membawa nama Nabi, yaitu nabi
Sulaiman. Menurut sumber-sumber ber
bahasa Suryani,
Khalifah baru itu bersumpah "untuk tidak akan berhenti berjuang melawan
Konstantinopel sebelum mencapai titik darah penghabisan bangsa Arab
atau sebelum merebut kota itu."
[17][18][19][20][21] Pasukan Umayyah mulai berkumpul di dataran
Dabiq sebelah utara
Aleppo, di bawah pengawasan langsung
Khalifah. Karena Sulaiman sedang sakit, komando dipercayakan kepada saudaranya
Maslamah bin Abdul-Malik.
[22] Operasi terhadap Konstantinopel terjadi pada saat negara
Umayyah sedang mengalami periode ekspansi berkelanjutan ke timur dan barat. Pasukan Muslim bergerak maju ke
Transoxiana,
India dan
Kerajaan Visigoth di
Hispania.
[23]
Persiapan Arab, khususnya pembanguan armada besar, sebenarnya telah diketahui oleh Bizantium yang merasa cemas. Kaisar
Anastasios II (berkuasa 713–715) mengirim utusan ke Damaskus di bawah
patrician dan
prefek urban, Daniel dari
Sinope,
berpura-pura meminta perdamaian, namun pada kenyataanya memata-matai
pasukan Arab. Anastasios kemudian memulai persiapan untuk pengepungan
yang tak terhindarkan:
perbentengan
Konstantinopel diperbaiki dan dilengkapi dengan banyak artileri,
sedangkan persediaan makanan dimasukkan ke dalam kota dan penduduk yang
tidak mampu menimbun bahan makanan untuk cadangan selaam tiga tahun
dievakuasi.
[24][25][26] Anastasios memperkuat angkatan lautnya dan pada awal 715 mengerahkannya melawan armada Arab yang mendatangi pesisir
Lykia di
Phoinix—ada kemungkinan bahwa ada kebingungan antara tempat yang dimaksud dengan
Phoinix di seberang
Rhodes,
[27] dan bahkan mungkin dengan
Fenisia (
Lebanon modern), yang terkenal akan hutan
cedarnya[28]—untuk mengumpulkan kayu untuk membuat kapal. Akan tetapi, di Rhodes, armada Bizantium, didorong oleh para tentara dari Theme
Opsikion, memberontak, membunuh komandan mereka Yohanes Diakon dan berlayar ke utara menuju
Adramyttion. Di sana mereka mengangkat seorang bekas pemungut pajak yang agak enggan,
Theodosios III, sebagai kaisar.
[29][30][31][32] Anastasios menyeberang ke
Bithynia di Theme Opsikion untuk menghadapi pemberontakan, namun armada pemberontak berlayar ke
Khrysopolis.
Dari sana, mereka melancarkan serangan terhadap Konstantinopel, hingga,
pada akhir musim panas, para simpatisan di dalam kota membuka gerbang
untuk mereka. Anastasios bertahan di
Nikaia selama beberapa bulan, sebelum akhirnya bersedia untuk menyerah dan hidup sebagai biarawan.
[33][34][35]
Naiknya Theodosios, dari sumber yang ada disebut sebagai orang yang
enggan dan tidak cakap, sebagai kaisar boneka orang Opsikion, memicu
reaksi keras dari theme-theme lainnya, terutama
Anatolikon dan
Armeniakon di bawah
strategosnya (jenderal) masing-masing, yaitu
Leo orang Isauria dan
Artabasdos.
[36][37]
Dalam kondisi yang mendekati perang saudara, Arab dengan hati-hati mulai mempersiapkan gerak maju mereka. Pada
September 715, barisan terdepan yang dipimpin Jenderal Sulaiman bin Mu'adz, berjalan melewati
Kilikia menuju Asia Minor, merebut
benteng Loulon yang strategis dalam perjalanannya. Mereka bermusim dingin di Afik, sebuah lokasi yang tidak diketahui dekat pintu keluar
Gerbang Kilikia. Pada awal
716,
pasukan Sulaiman melanjutkan perjalanan ke Asia Kecil bagian tengah.
Armada kapal Umayyah di bawah Umar bin Hubaira berlayar di sepanjang
pantai Kilikia, sementara
Maslamah bin Abdul-Malik menunggu perkembangan dengan pasukan utama di
Suriah.
[38][39][40]
Pihak Arab berharap perpecahan di pihak Bizantium akan menjadi keuntungan bagi mereka. Maslamah telah menjalin hubungan dengan
Leo orang Isauria. Sejarawan Perancis Rodolphe Guilland berpendapat bahwa Leo menawarkan untuk menjadi
vasal
Kekhalifahan, meskipun Jenderal Bizantium itu berniat untuk
memanfaatkan pasukan Arab demi keuntungannya sendiri. Pada gilirannya,
Maslamah mendukung Leo dengan harapan memperbesar kekacauan dan
melemahkan Kekaisaran, untuk meringankan tugasnya dalam merebut
Konstantinopel.
[41][42]
Tujuan pertama Sulaiman adalah benteng penting yang strategis di
Amorion,
yang hendak digunakan oleh Arab sebagai basis pada musim dingin
berikutnya. Amorion ditinggalkan dengan tidak berdaya dalam kekacauan
perang saudara
dan mudah untuk ditaklukan, namun pihak Arab lebih memilih untuk
mendukung posisi Leo sebagai penyeimbang Theodosios. Mereka menawarkan
kesepakatan damai kepada kota itu jika penduduknya bersedia mengakui Leo
sebagai kaisar. Benteng itu menyerah namun tetap tidak mau membuka
gerbangnya bagi pasukan Arab. Leo datang mendekati kota itu bersama
sejumlah tentara dan melakukan serangkaian tipuan dan negosiasi untuk
menempatkan 800 tentara di dalam kota. Pasukan Arab, gagal mencapai
tujuannya dan dengan perbekalan yang semakin menipis, akhirnya mundur.
Leo melarikan diri ke
Pisidia dan, pada musim panas, dengan didukung oleh Artabasdos, diangkat menjadi kaisar.
[43][44][45][46]
Kesuksesan Leo merupakan keuntungan bagi Bizantium, karena sementra itu, Maslamah dengan pasukan utama Arab melewati
Pegunungan Taurus
dan berjalan langsung ke Amorion. Selain itu, oleh karena Jenderal Arab
itu belum menerima berita tentang kesepakatan ganda Leo, dia tidak
menghancurkan wilayah yang ia lewati—theme Anatolikon dan Armeniakon,
yang gubernurnya masih ia yakini menjadi sekutunya.
[47][48][49]
Pada pertemuan dengan pasukan Sulaiman yang mundur dan mempelajari apa
yang telah terjadi, Maslamah mengubah rencana: dia menyerang
Akroinon dan dari sana ia berjalan menuju pesisir barat untuk bermusim dingin. Dalam perjalanannya, dia menjarah
Sardis dan
Pergamon. Armada kapal Arab bermusim dingin di Kilikia.
[50][51][52][53] Sementara itu, Leo memulai perjalanannya menuju
Konstantinopel. Dia menaklukkan
Nikomedia,
di sana dia menemukan dan menangkap, di antara pejabat lainnya, putra
Theodosios, dan kemudian berarak menuju Khrysopolis. Pada musim semi
717, setelah negosiasi yang pendek, Leo berhasil membuat Theodosios
mundur dan mengakuinya sebagai kaisar. Leo memasuki ibukota pada 25
Maret. Theodosios dan putranya diperbolehkan hidup di biara sebagai
biarawan, sedangkan Artabasdos naik pangkat menjadi
kouropalates dan dijodohkan dengan anak perempuan Leo,
Anna.
[54][55][56][57]
Pasukan
Sejak awal, Arab telah menyiapkan serangan besar ke Konstantinopel.
Kronik Zuqnin
berbahasa Suryani dari akhir abad ke-8 melaporkan bahwa pasukan Arab
berjumlah "amat sangat banyak," sedangkan penulis kronik berbahasa
Suryani abad ke-12,
Mikhael orang Suriah
menyebutkan bahwa pasukan Arab terdiri atas 200.000 tentara dan 5.000
kapal, suatu jumlah yang dibesar-besarkan. Penulis Arab abad ke-10
Al-Mas'udi menyebutkan 120.000 tentara, dan catatan abad ke-9 oleh
Theophanes Sang Pengaku menyebutkan 1,800 kapal. Perbekalan untuk beberapa tahun dipersiapkan, dan mesin kepung serta bahan pembakar (
nafta)
dikumpulkan. Kereta barangnya disebutkan berjumlah 12.000 orang, 6.000
unta dan 6.000 keledai, sedangkan menurut sejarawan abad ke--13
Bar Hebraeus, pasukan Arab meliputi 30.000 sukarelawan (
mutawa) untuk Perang Suci (
jihad).
[58][59][60]
Berapapun jumlah pastinya, pihak penyerang berjumlah jauh lebih banyak
daripada pihak bertahan; menurut Treadgold, pasukan Arab kemungkinan
berjumlah lebih banyak daripada keseluruhan
angkatan perang Bizantium.
[1] Sedikit yang diketahui mengenai susunan rinci pasukan Arab adalah bahwa sebagian besarnya terdiri atas dan dipimpin oleh
orang Suriah dan
orang Jazirah dari kelompok elite
ahlul Syam ("Orang Suriah"), pilar utama dalam rezim Umayyah dan
veteran perang melawan Bizantium.
[61][62]
Di samping Maslamah, Umar bin Hubaira, Sulaiman bin Mu'adz, dan
Bakhtari bin Hasan disebutkan sebagai letnannya oleh Theophanes dan
sejarawan abad ke-10
Agapius dari Hierapolis, sementara itu sebuah kitab anonim dari abad ke-11
Kitabul 'Uyun menyebutkan
Abdullah al-Battal alih-alih Bakhtari.
[63][64]
Meskipun pengepungan itu menghabiskan banyak sumber daya Kekhalifahan,
b[›]
namun Umayyah masih mampu melancarkan serbuan-serbuah terhadap
perbatasan Bizantium di Asia Kecil bagian timur selama pengepungan
berlangsung: pada 717, putra Khalifah Sulaiman, yaitu Daud, merebut
sebuah benteng di dekat
Malatya dan pada 718 Amru bin Qais menyerbu perbatasan.
[65]
Di pihak Bizantium, jumlah tentaranya tak diketahui. Selain dari
persiapan Anastasios II (yang mungkin telah diabaikan menyusul
penggulingannya,
[66] Bizantium dibantu oleh
Bulgar, yang bersama Leo telah menyepakati
perjanjian yang kemungkinan meliputi persekutuan melawan Arab.
[67]
Pengepungan
Pada awal musim panas, Maslamah memerintahkan armadanya untuk bergabung dengan pasukannya menyeberangi
Hellespontos di
Abydos menuju
Trakia.
Pasukan Arab mulai berarak menuju Konstantinopel, sepenuhnya merusak
pedesaan, mengumpulkan perbekalan, dan menjarah kota-kota yang mereka
lalui.
[68][69][70][71] Pada pertengahan Juli atau Agustus,
a[›]
Pasukan Arab tiba di Konstaninopel dan mengepungnya melalui darat
dengan membangun tembok kepung ganda dari batu, yang satu menghadap kota
dan yang satunya menghadap pedesaan Trakia, dengan perkemahan mereka
ditempatkan di antara keduanya. Menurut sumber-sumber Arab, pada titik
ini Leo menawarkan untuk memberikan tebusan demi kota itu dengan
membayar
sekeping koin emas
untuk satu orang penduduk Konstantinopel, namun Maslamah menjawab bahwa
tak mungkin ada kesepakatan dengan orang yang sudah takluk, dan bahwa
garnisun Arab di Konstantinoepl telah ditentukan.
[72][73][74][75]
Armada Arab di bawah Sulaiman (sering disalahartikan sebagai Khalifah sendiri dalam sumber-sumber
Abad Pertengahan) tiba pada
1 September, melempar
sauh pertama kalinya di
Hebdomon. Dua hari kemudian, Sulaiman memimpin armadanya ke
Bosporus dan beragam skuadron mulai berlabuh di pinggiran perkotaan di Eropa dan Asia: sebagian berlayar ke sebelah selatan
Khalsedon
ke pelabuhan di Eutropios dan Anthemios untuk mengawasi jalur masuk
selatan Bosporus, sedangkan sisa armada berlayar melalui selat tersebut,
melewati Konstantinopel dan mulai berlabuh di pesisir antara
Galatia dan
Kleidion, memotong hubungan antara ibukota Bizantium dengan
Laut Hitam.
Namun ketika barisan belakang armada Arab, terdiri atas dua puluh kapal
berat dengan 2.000 marinir, melintasi Konstantinopel, tiba-tiba angin
selatan berhenti dan bertiup berbalik arah, mengarahkan armada Arab ke
arah tembok kota, di mana satu skuadron Bizantium menyerang mereka
dengan
api Yunani. Theophanes menuturkan bahwa beberapa kapal tenggelam, sedangan yang lainnya, dalam keadaan terbakar, berlayar ke
Kepulauan Pangeran di
Oxeia and
Plateia.
Kemenangan ini membuat orang Bizantium bersemangat dan melemahkan moral
pasukan Arab, yang, menurut Theophanes, pada awalnya berniat untuk
berlayar ke tembok laut pada malam harinya dan berusaha memanjatnya
menggunakan dayung kemudi kapal. Pada malam yang sama, Leo memasang
rantai antara kota dan Galatia, menutup jalur masuk ke
Tanduk Emas.
Armada Arab menjadi enggan untuk berhadapan dengan armada Bizantium,
dan akhirnya memutuskan untuk mundur ke pelabuhan yang aman di
Sosthenion lebih jauh lagi ke selatan di pesisir Bosporus bagian Eropa.
[76][77][78][79]
Pasukan Arab tersuplai dengan baik, dengan sumber-sumber Arab
melaporkan banyaknya persediaan makanan di perkemahan mereka, dan mereka
bahkan membawa
gandum
untuk ditanam dan kemudian dipanen setahun kemudian. Akan tetapi,
kegagalan angkatan laut Arab untuk memblokade kota membuat Bizantium
juga dapat memperoleh pasokan makanan. Selain itu, pasukan Arab telah
merusak pedesaan Trakia dalam perjalanannya ke Konstantinopel sehingga
tak dapat lagi mencari bahan pangan di sana. Armada Arab serta pasukan
Arab kedua, yang bertugas di pinggiran Asia Konstantinopel, dapat
membawa suplai terbatas bagi pasukan Maslamah.
[80][81]
Ketika pengepungan mendekati musim dingin, negosiasi terbuka antara dua
pihak banyak dilaporkan oleh sumber-sumber Arab tapi diabaikan oleh
sejarawan Bizantium. Menurut catatan Arab, Leo melanjutkan siasatnya
terhadap pihak Arab. Satu versi mengklaim dia menipu Maslamah untuk
menyerahkan sebagian besar suplai gandumnya, sementara yang lain
mengklaim bahwa jenderal Arab itu dibujuk untuk membakar itu semua,
untuk menunjukkan kepada penduduk kota bahwa mereka akan segeran
menghadapi serangan dan mendorong mereka untuk menyerah.
[82][83] Musim dingin
718 sangatlah keras;
salju
menutupi daratan selama lebih dari tiga bulan. Karena suplai di kamp
Arab sudah habis, terjadilah kelaparan yang mengerikan: para prajurit
memakan
kuda,
unta, dan hewan
ternak lainnya, dan juga kulit
pohon,
daun dan
akar pe
pohonan.
Mereka menyapu salju dari ladang yang sudah mereka tanami untuk dapat
memakan tunas-tunas tanaman, dan dilaporkan terpaksa menjadi
kanibalisme serta memakan kotoran mereka sendiri. Pasukan Arab dilanda wabah; sejarawan
Lombard Paulus Diakonus menyebutkan jumlah mereka yang mati karena kelaparan dan penyakit mencapai 300000 orang.
[84][85][86][87][88]
Keadaan mulai tampak membaik ketika Khalifah yang baru,
Umar II
(berkuasa 717–720), mengirim dua armada untuk menolong pasukan
pengepung: 400 kapal didatangkan dari Mesir di bawah komando Sufyan dan
360 dari
Afrika
di bawah Izid, semuanya dipenuhi suplai dan persenjataan. Pada saat
yang sama, pasukan yang masih segar dikirim melalui Asia Kecil untuk
membantu pengepungan. Ketika armada baru itu tiba di
Laut Marmara mereka menjaga jarak dari armada Bizantium dan berlabuh di pesisir Asia. Armada Mesir berposisi di Teluk Nikomedia dekat
Tuzla modern sedangkan armada Afrika di sebelah selatan Khalsedon (di
Satyros,
Bryas dan
Kartalimen). Akan tetapi, sebagian besar kru dalam armada Arab merupakan
orang Mesir Kristen,
dan mereka mulai membelot kepada Bizantium setelah tiba di kota.
Setelah diberitahu mengenai kedatangan dan penempatan pasukan bantuan
Arab, Leo melancarkan serangan terhadap armada baru Arab. Mengalami
kelumpuhan akibat pembelotan kru mereka, dan tak berdaya melawan api
Yunani, kapal-kapal Arab dihancurkan atau direbut bersama dengan
persenjataan dan suplai yang mereka angkut. Konstantinopel kini aman
dari serangan laut.
[89][90][91][92]
Di daratan juga Bizantium memperoleh kemenangan: pasukan mereka
berhasil menyergap pasukan Arab yang sedang bergerak maju di bawah
komando Mardasan dan menghancurkannya di perbukitan di sekitar
Sophon, sebelah selatan Nikomedia.
[93][94][95][96]
Konstantinopel kini dapat dengan mudah disuplai dari laut dan para
nelayan kota kembali mencari ikan di laut, karena armada Arab tak lagi
berlayar. Sementara itu, pasukan Arab masih menderita akibat kelaparan
dan wabah penyakit, ditambah lagi dengan kekalahan dalam pertempuran
besar melawan pasukan Bulgar, yang menewaskan, menurut Theophanes, 22000
orang. Akan tetapi, tak jelas apakah Bulgar menyerang perkemahan Arab
karena perjanjian mereka dengan Leo ataukah karena pasukan Arab memasuki
wilayah Bulgar dalam usaha mencari suplai, seperti dilaporkan oleh
Kronik 846
berbahasa Suryani. Mikhael orang Suriah menyebutkan bahwa Bulgar ikut
serta dalam pengepungan sejak awal, dengan melakukan serangan terhadap
pasukan Arab ketika mereka berarak melalui Trakia dan setelah itu di
perkemahan mereka, namun keterangan ini tidak muncul dalam sumber-sumber
lainnya.
[97][98][99][100]
Pengepungan ini jelas sudah gagal, dan Khalifah Umar mengirim perintah
kepada Maslamah untuk mundur. Setelah 13 bulan pengepungan, pada
15 Agustus 718, pasukan Arab meninggalkan Konstantinopel. Tanggal tersebut bertepatan dengan perayaan
Tidurnya Theotokos
(Naiknya Maria), sehingga rakyat Bizantium menganggap bahwa Bizantium
dapat menang karena bantuan Maria. Pasukan Arab yang mundur tidak
mengalami hambatan atau serangan dalam perjalanan pulang mereka, tapi
armada mereka kehilangan banyak kapal akibat dihantam badai di Marmara
sedangkan kapal-kapal lainnya terbakar oleh abu dari gunung berapi
Santorini,
dan beberapa kapal yang selamat direbut oleh Bizantium, sehingga
Theophanes mengklaim bahwa hanya lima kapal yang berhasil kembali ke
Suriah.
[101][102]
Sumber-sumber Arab menyebutkan bahwa 150.000 orang Muslim tewas dalam
kampanye tersbeut, suatu angka yang, menurut sejarawah Bizantium
John Haldon,
"meskipun jelas dilebih-lebihkan, [jumlah] itu jelas menunjukkan
besarnya bencana tersebut dalam sudut pandang Abad Pertengahan."
[103]
Akibat
Kegagalan ekspedisi ini melemahkan negara Umayyah. Seperti dikomentari oleh sejarawan
Bernard Lewis,
"Kegagalan itu membawa momen suram bagi kekuasaan Umayyah. Tekanan
keuangan akibat mempersenjatai dan melaksanakan ekspedi itu menyebabkan
bertambah buruknya fiskal dan penindasan ke
uangan yang sebelumnya telah menimbulkan pertentangan yang berbahaya. Hancurnya armada dan pasukan Suriah di tembok
laut Konstantinopel membuat rezim yang berkuasa kehilangan penyokong utama kekuasaannya."
[104]
Damppaknya terhadap kekuasaan Kekhalifahan amat buruk, dan meskipun
pasukan darat tidak menderita kerugian sebesar armada, Umar tercatat
mempertimbangkan untuk menarik pasukan dari wilayah-wilayah yang baru
ditaklukan, seperti
Hispania dan
Transoxiana,
serta melakukan evakuasi penuh dari Kilikia dan wilayah Bizantium
lainnya yang direbut oleh Arab pada tahun-tahun sebelumnya. Meskipun
para penasehatnya berusaha mencegahnya agar tidak melakukan tindakan
drastis semacam itu, pada akhirnya sebagian besar garnisun Arab ditarik
dari distrik-distrik di perbatasan Bizantium yang telah mereka duduki
sebelumnya. Di Kilikia, hanya
Mopsuestia yang tetap dikuasai oleh Arab sebagai pertahanan untuk melindungi
Antiokia.
[105][106][107]
Bizantium bahkan mampu merebut kembali beberapa wilayah di Armenia
barat untuk sementara waktu. Pada 719, armada Bizantium menyerbu pesisir
Suriah dan membakar habis pelabuhan
Laodikea dan, pada 720 atau 721, Bizantium menggempur dan menjarah
Tinnis di Mesir.
[108][109][110] Leo juga kembali memperoleh kendali atas
Sisilia,
di mana kabar mengenai pengepungan Konstantinopel oleh Arab dan dugaan
bahwa kota itu akan takluk telah membuat para gubernur lokal mengangkat
kaisar mereka sendiri, yaitu
Basil Onomagoulos. Akan tetapi pada masa ini pula Bizantium kehilangan kendali efektif atas
Sardinia dan
Korsika.
[111]
Selain itu, Bizantium gagal memanfaatkan keberhasilan mereka untuk
melancarkan serangan terhadap Arab. Pada tahun 720, setelah jeda selama
dua tahun, Arab kembali melakukan serbuan ke wilayah Bizantium, meskipun
kini mereka tak lagi melakukan penaklukan langsung, melainkan mencari
harta rampasan. Serangan Arab semakin meningkat selama dua dekade
berikutnya hingga Bizantium memperoleh kemenangan besar dalam
Pertempuran Akroinon pada 740. Setelah menderita kekalahan militer dan kericuhan dalam negeri yang memuncak pada
Revolusi Abbasiyah, berakhirlah zaman penaklukan Muslim.
[112][113][114][115]
Kajian sejarah dan pengaruh
Pengepungan Konstantinopel yang kedua lebh berbahaya bagi Bizantium
daripada yang pertama, karena serangan tersebut langsung dan terencana
terhadap ibukota. Pada
717–
718, pihak Arab memutus hubungan kota sepenuhnya, alih-alih membatasi diri untuk blokade longgar seperti pada pengepungan
674–
678.
[65]
Pengepungan tersebut melambangkan upaya Kekhalifahan untuk "memotong
kepala" Kekaisaran Bizantium, setelah itu provinsi-provinsi yang
tersisa, terutama di Asia Kecil, akan mudah ditaklukan.
[116]
Kegagalan Arab disebabkan terutama oleh permasalahan logistik, karena
mereka bertugas terlalu jauh dari basis mereka di Suriah. Keunggulan
angkatan laut Bizantium dan pengunaan api Yunani, kuatnya perbentengan
Konstantinopel, dan kemampuan Leo III dalam tipu daya dan negosiasi juga
memainkan peranan yang penting.
[117][118][119][120]
Dalam jangka panjang, kegagalan pengepungan Arab mengakibatkan
perubahan yang besar terhadap sifat peperangan antara Bizantium dan
Kekhalifahan. Tujuan Muslim untuk menaklukan Konstantinopel secara
efektif diabaikan dan perbatasan antara kedua negara itu distabilkan di
sepanjang jalur Pegunungan Taurus dan Antitaurus, dimana kedua pihak
berulang melancarkan serbuan dan serangan balasan secara rutin melalui
daerah tersebut. Dalam peperangan perbatasan yang tiada henti ini, kota
dan benteng di perbatasan berulang kali berpindah tangan, tapi secara
umum, perbatasan tetap tak berubah selama lebih dari dua abad, hingga
penaklukan Bizantium pada abad ke-10.
[121][122][123][124]
Di pihak Muslim, serbuan-serbuan itu sendiri pada akhirnya menjadi ciri
ritual, dan dianggap mulia, terutama untuk menunjukkan jihad yang
terus-menerus dan sebagai perlambang peran Khalifah sebagai pemimpin
masyarakat Muslim.
[125][126]
Hasil dari pengepungan tersebut juga amat penting dalam hal
makrosejarah. Kelangsungan ibukota Bizantium mempertahankan Kekaisaran sebagai benteng melawan
ekspansi Islam ke
Eropa hingga abad ke-15, ketika
kota ini takluk oleh
Kesultanan Utsmaniyah. Pertahanan
Konstantinopel yang sukses dikaitkan dengan
Pertempuran Tours pada
732 sebagai peristiwa yang menghentikan ekspansi Muslim ke Eropa. Sejarawan militer
Paul K. Davis
menulis, "Dengan menghalau invasi Muslim, Eropa tetap berada di tangan
Kristen, dan tidak ada ancaman Muslim terhadap Eropa hingga abad ke-15.
Kemenangan ini, bertepatan dengan kemenangan
Bangsa Frank di
Tours (
732), membatasi ekspansi barat Islam ke dunia
Mediterania selatan."
[127] Dengan demikian sejarawan
John B. Bury menyebut peristiwa 718 sebagai "tanggal yang ekumenis", sementara itu sejarawan Yunani
Spyridon Lambros menyamakan pengepungan ini dengan
Pertempuran Marathon dan Leo III dengan
Miltiades.
[128] Akibatnya, sejarawan militer sering memasukkan pengepungan ini dalam daftar "pertempuran yang paling menentukan" dalam
sejarah dunia.
[129][130][131][132][133]
Dampak budaya
Di pihak Arab, pengepungan 717–718 menjadi ekspedisi mereka yang
paling terkenal melawan Bizantium. Beberapa catatan masih bertahan,
namun sebagian besarnya dibuat pada masa selanjutnya dan semifiktif
serta saling bertentangan. Dalam legenda, kekalahan tersebut diubah
menjadi kemenangan: Maslamah pulang setelah secara simbolis memasuki
ibukota Bizantium dengan menunggangi kudanya dan ditemani oleh tiga
puluh penunggang kuda. Ia disambut dengan amat hormat oleh Leo, yang
memandu Maslamah menuju
Hagia Sophia.
Setelah Leo memberikan penghormatan kepada Maslamah dan berjanji untuk
memberikan upeti, Maslamah dan pasukannya—30,000 dari pasukan awal
sejumlah 80,000 yang pergi ke Konstantinople—kembali ke Suriah.
[134][135][136] Kisah pengepungan ini mempengaruhi cerita serupa dalam
sastra epik Arab. Pengepungan Konstantinopel muncul dalam kisah Umar bin al-Nu'uman dan putra-putranya dalam
Seribu Satu Malam, sedangkan Maslamah dan Khalifah Sulaiman muncul dalam kisah
Seratus Satu Malam dari
Maghreb. Komandan pasukan pengawal Maslamah, Abdullah al-Battal, menjadi tokoh terkenal dalam sajak Arab dan Turki sebagai "
Battal Gazi" atas tindakannya dalam serbuan-serbuan Arab pada dekade-dekade berikutnya. Demikian pula, epik abad ke-19,
Delhemma, terkait dengan siklus mengenai Battal, menampilkan versi fiktif dari pengepungan 717–718.
[137][138]
Tradisi Muslim dan Bizantium kemudian menganggap bahwa
masjid pertama di Konstantinopel, dekat
praetorium kota, dibangun oleh Maslamah. Pada kenyataannya, masjid tersebut kemungkinan didirikan pada
860, sebagai hasil dari kedutaan Arab pada tahun itu.
[139][140][141][142] Tradisi
Utsmaniyah juga menyebutkan bahwa bangunan
Masjid Arap (berlokasi di luar
Konstantinopel, tepatnya di Galata) dibangun oleh Maslamah, meskipun penanggalan keliru ini sekitar
686, mungkin merancukan serangan Maslamah dengan pengepungan Arab yang pertama pada
670-an.
[143][144]
Pada akhirnya, menyusul kegagalan berulang mereka di depan
Konstantinopel, dan ketahanan berkelanjutan negara Bizantium, Muslim
mulai memproyeksikan kejatuhan Konstantinopel di masa depan. Oleh sebab
itu kejatuhan kota ini dianggap salah satu pertanda kedatangan
akhir zaman dalam
Eskatologi Islam.
[145][146][147]
Referensi
Catatan kaki
^ a: Theophanes sang Pengaku memberikan tanggal
15 Agustus, namun ini mungkin mencerminkan tanggal keberangkatan pasukan Arab pada tahun berikutnya.
Patriark Nikephoros I mencatat bahwa pengepungan berlangsung selama 13 bulan, menandakan bahwa pengepungan dimulai pada
15 Juli.
[148][149]
^ b: Menurut sejarawan
Hugh N. Kennedy, berdasarkan angka yang terdapat dalam catatan pasukan kontemporer (
diwan),
jumlah tenaga manusia keseluruhan yang tersedia di Kekhalifahan Umayyah
sekitar tahun 700 berkisar antara 250,000 hingga 300,000 orang, yang
tersebar di berbagai provinsi. Tidak jelas, hingga sebanyak apa dari
jumlah tersebut yang dapat dikerahkan untuk kampanye tertentu, dan dan
tidak termasuk tenaga manusia berlebih yang dapat dikerahkan dalam
keadaan luar biasa.
[150]
Kutipan
- ^ a b Treadgold 1997, hal. 346.
- ^ Treadgold 1997, hal. 346–347.
- ^ Lilie 1976, hal. 81–82, 97–106.
- ^ Blankinship 1994, hal. 31
- ^ Haldon 1990, hal. 72
- ^ Lilie 1976, hal. 107–120.
- ^ Haldon 1990, hal. 80
- ^ Lilie 1976, hal. 120–122, 139–140.
- ^ Blankinship 1994, hal. 31
- ^ Lilie 1976, hal. 140
- ^ Treadgold 1997, hal. 345–346.
- ^ Treadgold 1997, hal. 345.
- ^ Brooks 1899, hal. 19–20.
- ^ Mango & Scott 1997, hal. lxxxviil–xxxviii.
- ^ Brooks 1899, hal. 19–20
- ^ Guilland 1959, hal. 115–116
- ^ Brooks 1899, hal. 20–21
- ^ El-Cheikh 2004, hal. 65
- ^ Guilland 1959, hal. 110
- ^ Lilie 1976, hal. 122
- ^ Treadgold 1997, hal. 344.
- ^ Guilland 1959, hal. 110–111.
- ^ Hawting 2000, hal. 73.
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 534
- ^ Lilie 1976, hal. 122–123
- ^ Treadgold 1997, hal. 343–344.
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 537 (Catatan #5).
- ^ Lilie 1976, hal. 123 (Catatan #62).
- ^ Haldon 1990, hal. 80
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 535–536
- ^ Lilie 1976, hal. 123–124
- ^ Treadgold 1997, hal. 344.
- ^ Haldon 1990, hal. 80, 82
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 536
- ^ Treadgold 1997, hal. 344–345.
- ^ Lilie 1976, hal. 124
- ^ Treadgold 1997, hal. 345.
- ^ Guilland 1959, hal. 111
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 538
- ^ Lilie 1976, hal. 123–125.
- ^ Guilland 1959, hal. 118–119
- ^ Lilie 1976, hal. 125.
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 538–539
- ^ Lilie 1976, hal. 125–126
- ^ Treadgold 1997, hal. 345.
- ^ Untuk penjelasan rinci tentang negosiasi Leo dengan Arab di Amorion dalam sumber-sumber Bizantium dan Arab, lihat Guilland 1959, hal. 112–113, 124–126.
- ^ Guilland 1959, hal. 125
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 539–540
- ^ Lilie 1976, hal. 126–127.
- ^ Guilland 1959, hal. 113–114
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 540–541
- ^ Lilie 1976, hal. 127
- ^ Treadgold 1997, hal. 345.
- ^ Haldon 1990, hal. 82–83
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 540, 545
- ^ Lilie 1976, hal. 127–128
- ^ Treadgold 1997, hal. 345.
- ^ Guilland 1959, hal. 110
- ^ Kaegi 2008, hal. 384–385
- ^ Treadgold 1997, hal. 938 (Catatan #1).
- ^ Guilland 1959, hal. 110
- ^ Kennedy 2001, hal. 47.
- ^ Canard 1926, hal. 91–92
- ^ Guilland 1959, hal. 111.
- ^ a b Lilie 1976, hal. 132.
- ^ Lilie 1976, hal. 125.
- ^ Treadgold 1997, hal. 347.
- ^ Brooks 1899, hal. 23
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 545
- ^ Lilie 1976, hal. 128
- ^ Treadgold 1997, hal. 347.
- ^ Guilland 1959, hal. 119
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 545
- ^ Lilie 1976, hal. 128–129
- ^ Treadgold 1997, hal. 347.
- ^ Guilland 1959, hal. 119–120
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 545–546
- ^ Lilie 1976, hal. 128
- ^ Treadgold 1997, hal. 347.
- ^ Lilie 1976, hal. 129
- ^ Treadgold 1997, hal. 347.
- ^ Brooks 1899, hal. 26–28, 30
- ^ Lilie 1976, hal. 129.
- ^ Brooks 1899, hal. 28–29
- ^ Guilland 1959, hal. 122–123
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 546
- ^ Lilie 1976, hal. 129–130
- ^ Treadgold 1997, hal. 347.
- ^ Guilland 1959, hal. 121
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 546, 548
- ^ Lilie 1976, hal. 130
- ^ Treadgold 1997, hal. 347–348.
- ^ Guilland 1959, hal. 122
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 546
- ^ Lilie 1976, hal. 130–131
- ^ Treadgold 1997, hal. 348.
- ^ Canard 1926, hal. 90–91
- ^ Guilland 1959, hal. 122, 123
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 546
- ^ Lilie 1976, hal. 131.
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 550
- ^ Treadgold 1997, hal. 349.
- ^ Haldon 1990, hal. 83.
- ^ Lewis 2002, hal. 79.
- ^ Blankinship 1994, hal. 33–34
- ^ Lilie 1976, hal. 132–133
- ^ Treadgold 1997, hal. 349.
- ^ Blankinship 1994, hal. 287 (Catatan #133)
- ^ Lilie 1976, hal. 133
- ^ Treadgold 1997, hal. 349.
- ^ Treadgold 1997, hal. 347, 348.
- ^ Blankinship 1994, hal. 34–35, 117–236
- ^ Haldon 1990, hal. 84
- ^ Kaegi 2008, hal. 385–386
- ^ Lilie 1976, hal. 143–144.
- ^ Lilie 1976, hal. 140–141.
- ^ Blankinship 1994, hal. 105
- ^ Kaegi 2008, hal. 385
- ^ Lilie 1976, hal. 141
- ^ Treadgold 1997, hal. 349.
- ^ Blankinship 1994, hal. 104–106
- ^ Haldon 1990, hal. 83–84
- ^ El-Cheikh 2004, hal. 83–84
- ^ Toynbee 1973, hal. 107–109.
- ^ El-Cheikh 2004, hal. 83–84
- ^ Kennedy 2001, hal. 105–106.
- ^ Davis 2001, hal. 99.
- ^ Guilland 1959, hal. 129.
- ^ Crompton 1997, hal. 27–28
- ^ Davis 2001, hal. 99–102
- ^ Fuller 1987, hal. 335ff.
- ^ Regan 2002, hal. 44–45
- ^ Tucker 2010, hal. 94–97.
- ^ Canard 1926, hal. 99–102
- ^ El-Cheikh 2004, hal. 63–64
- ^ Guilland 1959, hal. 130–131.
- ^ Canard 1926, hal. 112–121
- ^ Guilland 1959, hal. 131–132.
- ^ Canard 1926, hal. 94–99
- ^ El-Cheikh 2004, hal. 64
- ^ Guilland 1959, hal. 132–133
- ^ Hasluck 1929, hal. 720.
- ^ Canard 1926, hal. 99
- ^ Hasluck 1929, hal. 718–720.
- ^ Canard 1926, hal. 104–112
- ^ El-Cheikh 2004, hal. 65–70
- ^ Hawting 2000, hal. 73.
- ^ Mango & Scott 1997, hal. 548 (Catatan #16)
- ^ Guilland 1959, hal. 116–118.
- ^ Kennedy 2001, hal. 19–21
Sumber
- Blankinship, Khalid Yahya (1994). The End of the Jihâd State: The Reign of Hishām ibn ʻAbd al-Malik and the Collapse of the Umayyads. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 0-7914-1827-8.
- Brooks, E. W. (1899). "The Campaign of 716–718 from Arabic Sources". The Journal of Hellenic Studies (The Society for the Promotion of Hellenic Studies) XIX: 19–33.
- Canard, Marius (1926). "Les expéditions des Arabes contre Constantinople dans l'histoire et dans la légende" (dalam bahasa French). Journal Asiatique (208): 61–121. ISSN 0021-762X.
- Crompton, Samuel Willard (1997). 100 Battles That Shaped World History. San Mateo, California: Bluewood Books. ISBN 978-0-912517-27-8.
- Davis, Paul K. (2001). "Constantinople: August 717–15 August 718". 100 Decisive Battles: From Ancient Times to the Present. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. hlm. 99–102. ISBN 0-19-514366-3.
- El-Cheikh, Nadia Maria (2004). Byzantium Viewed by the Arabs. Cambridge, Massachusets: Harvard Center for Middle Eastern Studies. ISBN 0-932885-30-6.
- Fuller, J. F. C. (1987). A Military History of the Western World, Volume 1: From the Earliest Times to the Battle of Lepanto. New York City, New York: Da Capo Press. ISBN 978-0-30-680304-8.
- Guilland, Rodolphe (1959). "L'Expedition de Maslama contre Constantinople (717-718)" (dalam bahasa French). Études byzantines (Paris: Publications de la Faculté des Lettres et Sciences Humaines de Paris): 109–133. OCLC 603552986.
- Haldon, John F. (1990). Byzantium in the Seventh Century: The Transformation of a Culture. Revised Edition. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. ISBN 978-0521319171.
- Hasluck, F. W. (1929). "LVII. The Mosques of the Arabs in Constantinople". Christianity and Islam Under the Sultans, Volume 2. Oxford, United Kingdom: Clarendon Press. hlm. 717–735.
- Hawting, G.R. (2000). The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661–750 (edisi ke-2nd). London, United Kingdom and New York City, New York: Routledge. ISBN 0-415-24072-7.
- Kaegi, Walter E. (2008). "Confronting Islam: Emperors versus Caliphs (641–c. 850)". di dalam Shepard, Jonathan. The Cambridge History of the Byzantine Empire c. 500–1492. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. hlm. 365–394. ISBN 978-0-52-183231-1.
- Kennedy, Hugh (2001). The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State. London, United Kingdom: Routledge. ISBN 978-0-203-45853-2.
- Lewis, Bernard (2002). The Arabs in History (Sixth Edition). Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. ISBN 0-19-280310-7.
- Lilie, Ralph-Johannes (1976) (dalam bahasa German). Die
byzantinische Reaktion auf die Ausbreitung der Araber. Studien zur
Strukturwandlung des byzantinischen Staates im 7. und 8. Jhd.. Munich, Germany: Institut für Byzantinistik und Neugriechische Philologie der Universität München.
- Mango, Cyril; Scott, Roger (1997). The Chronicle of Theophanes Confessor. Byzantine and Near Eastern History, AD 284–813. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. ISBN 0-19-822568-7.
- Regan, Geoffrey (2002). Battles That Changed History: Fifty Decisive Battles Spanning over 2,500 Years of Warfare. London, United Kingdom: Andre Deutsch. ISBN 978-0-233-05051-5.
- Toynbee, Arnold J. (1973). Constantine Porphyrogenitus and His World. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. ISBN 0-19-215253-X.
- Treadgold, Warren (1997). A History of the Byzantine State and Society. Stanford, California: Stanford University Press. ISBN 0-8047-2630-2.
- Tucker, Spencer C. (2010). Battles That Changed History: An Encyclopedia of World Conflict. Santa Barbara, California: ABC-CLIO. ISBN 978-1-59884-429-0.